Apapun disiplin ilmunya, saya berpandangan bahwa tidak ada satupun
disiplin ilmu beladiri yang dapat langsung menciptakan praktisi yang
mampu terjun ke dalam realitas pertarungan, karena bagaimanapun, konsep
dari latihan ilmu beladiri adalah simulasi atau meneliti prinsip, jadi,
kita tidak mungkin menciptakan seorang petarung yang “battle ready”
dengan disiplin ilmu beladiri apapun, terkecuali jika seorang praktisi
setiap harinya mendapatkan kesempatan untuk terjun dalam tawuran massal
yang tidak direncanakan, atau jika ia terjun langsung dalam suatu
peperangan.
Dua perbedaan ini, antara simulasi dan kenyataan perang, yang
kemudian menjadi jurang antara praktisi disiplin ilmu beladiri kuno dan
modern. Dalam pelatihan ilmu beladiri kuno, simulasi tetap
mempertimbangkan poin-poin yang didasari oleh pengalaman di lapangan.
Ada beberapa metode latihan yang secara signifikan membedakan keduanya.
Ilmu beladiri kuno mempertimbangkan pemakaian senjata, dinamika situasi
dan kondisi pertarungan, serta adaptabilitas praktisinya, walaupun tetap
dilatih dalam bentuk simulasi.
Sebagai contoh untuk membedakan antara latihan ilmu beladiri kuno dan
modern adalah pemakaian istilah tolok ukur efektivitas teknik. Dalam
ilmu beladiri sport kompetisi kita mengenal istilah-istilah seperti
“masuk” dan “poin” ketika serangan yang kita lakukan berhasil mengenai
target dan berjalan seperti seharusnya, namun dalam ilmu beladiri kuno
satu istilah yang sangat sering didengar adalah “mati”. Ilmu beladiri
kuno selalu melatih para praktisinya dengan menempatkan mereka dalam
situasi yang lemah, hal ini yang kemudian melatih mental serta kemampuan
berpikir dalam situasi terdesak. Ilmu beladiri kuno mengedepankan
“survival”, sedangkan ilmu beladiri sport kompetisi mengedepankan
“kemenangan”. Konsep non-kompetisi menjauhkan Aikido dari konsep
“menang-kalah”, namun dengan tidak adanya kompetisi menjatuhkan sebagian
praktisi ke dalam jurang yang berbeda, dimana teknik tidak lagi
mempertimbangkan realita perkelahian, pertarungan dan peperangan.
Pola latihan yang monoton di dojo menyebabkan praktisi mengira bahwa
tidak ada perbedaan antara latihan di dojo dan kenyataan di lapangan,
maka ketika seorang Aikido-ka menjajal kemampuannya menghadapi seorang
Karate-ka misalnya, ia pun akan berusaha keras mengaplikasikan tsuki
kote-gaeshi, dan, nol besar. Perlu diingat adanya perbedaan antara
realitas dan latihan, apa yang biasa kita lakukan di dojo tidak akan
pernah terjadi di lapangan, ini mengingatkan saya dengan ucapan seorang
shihan dalam satu sesi seminar:
“Anda tidak mungkin bisa mempraktekkan tsuki kote-gaeshi dalam
pertarungan yang sesungguhnya, kalaupun bisa, itu berarti anda sedang
beruntung atau lawan anda lamban. Namun bukan berarti teknik ini percuma
dilatih, satu poin yang bisa anda dapat dari latihan teknik adalah anda
terbiasa untuk masuk (irimi) kedalam titik buta (shikaku) lawan tanpa
terkena serangannya”
Saya sempat menekuni Taekwon-do selama dua tahun selama masa remaja,
dan mulai menekuni Aikido ketika mulai kuliah, saat ini saya tengah
meneliti Karate tradisional dibantu oleh salah satu junior, serta sempat
berdiskusi dengan beberapa praktisi Taichi. Saya mendapati bahwa
masing-masing disiplin ilmu memiliki metodenya masing-masing dalam
melatih praktisinya menghadapi realita, sesuatu yang agak sulit didapat
dalam latihan Aikido
Sekali lagi saya ingatkan bahwa ada banyak praktisi yang menganggap
teknik mereka dapat diaplikasikan secara mentah-mentah dalam realita
pertarungan, sehingga ini menyebabkan latihan menjadi ajang memanjakan
diri dengan teknik-teknik indah yang lembut, atau angan-angan bahwa
seorang penodong di sebuah gang sempit akan menyerang anda dengan tsuki
yang melaju secara linear, dan mereka selalu bekerja sendirian.
Dalam perkembangannya O-sensei memang mengembangkan Aikido dengan
konsep yang jauh berbeda dengan Daito-ryu Aiki-jujutsu, namun ini bukan
berarti kita harus memangkas habis semua aspek realita peperangan dalam
latihan. Yang perlu selalu diingat adalah, latihan diatas matras adalah
latihan prinsip, baik dari segi fisik maupun mental, sehingga dalam
prakteknya, prinsip harus selalu diterjemahkan lagi kedalam bahasa yang
berbeda, yaitu realita.
Realita
Dalam satu kesempatan, saya sempat menjadi asisten teknis wasit dalam
turnamen nasional Taekwon-do, saya duduk disamping seorang praktisi
Taekwon-do senior yang mengkritik bagaimana pelatih-pelatih Taekwon-do
modern membiarkan para atlitnya berpaling dari lawan ketika ia berhasil
mencetak poin untuk melakukan selebrasi.
“Mereka kemudian tidak terlatih untuk menghadapi realita di luar
sana, kesiagaan mereka hilang ketika poin berhasil dicetak. Dalam
kenyataannya, seorang penodong tidak semudah itu berhenti menyerang jika
tendangan anda masuk, kebiasaan ini akan membuat anda melakukan “yeah”
(berseru sambil mengepalkan tangan) ketika tendangan mengenai sasaran,
lalu anda akan lengah untuk merayakan kesuksesan dan penyerang anda
kemudian kembali merangsek maju untuk membunuh anda, mereka lupa, di
luar sana tidak ada wasit”
Tidak hanya di Taekwon-do, ini hanya salah satu contoh, hal yang sama
saya temukan diucapkan sendiri oleh seorang praktisi Silat, dan hampir
di semua beladiri sport kompetisi “celebration syndrome” ini berkembang,
tidak terkecuali di Aikido yang notabene adalah disiplin ilmu beladiri
non-kompetisi, tapi memang tidak semua beladiri sport kompetisi
menderita sindrom ini, kemampuan membedakan realita dan latihan hanya
bisa ditanamkan dengan metode latihan yang tepat serta pola pikir yang
benar.
Dalam Aikido, “celebration syndrome” terwujud dalam hilangnya
“zanshin” atau “constant awareness and mindfullness” dalam latihan
teknik, seorang nage akan dengan mudah meninggalkan uke-nya dan
beranggapan pertarungan selesai ketika teknik juga selesai, kita
berpaling dan sejenak lengah untuk merayakan suksesnya “waza”, sedangkan
dalam realita, lawan akan bangkit kembali dan melempari anda batu dari
belakang.
Latihan
Berlatih dengan tingkat realita tertentu di dojo bukan berarti kita
harus berlatih dengan tingkat stres yang tinggi. Kenyataan dalam latihan
dapat tetap ditanamkan dalam teknik dengan metode-metode tertentu,
seperti membiasakan teknik dilakukan tanpa putus atau memulai teknik
dalam keadaan 0-0.
Dalam Aikido, keadaan 0-0 ini mengedepankan kejujuran dalam berlatih,
uke bertugas untuk menyerang sepenuh hati dan nage juga harus mengakui
jika ada kekurangan atau kegagalan dalam teknik. Sering kali, uke
menghambat teknik nage karena ia terlebih dahulu sudah mengetahui secara
penuh teknik yang akan dilakukan, perlu diingat, bagi uke ini adalah
latihan yang buruk dalam mempersiapkan anda menghadapi realita, dalam
kenyataannya, anda tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh
penyerang di luar sana, dan berapa orang yang akan menyerang anda, lebih
buruk lagi ketika anda menerima teknik dengan sepenuhnya
mengesampingkan efektivitas.
Sedangkan poin yang perlu diingat sebagai nage, adalah bahwa teknik
yang anda lakukan diatas matras hanyalah prinsip dan tidak dapat
dipraktekkan mentah-mentah ketika anda harus terjun dalam pertarungan
sesungguhnya. Inilah yang membedakan pola latihan “meneliti” dan
“menghafal”. Nage berkesempatan mengevaluasi efektivitas dan
menerjemahkan prinsip ke dalam aplikasi dalam pola latihan “meneliti”,
sedangkan “menghafal” lebih ditekankan untuk membiasakan badan bergerak
dan untuk keperluan kurikulum.
Saya membiasakan murid-murid saya untuk “janjian” dengan rekan
latihannya mengenai metode mana yang ingin mereka gunakan ketika
berlatih, ketika mereka hendak meneliti teknik, maka resistensi uke dan
adaptasi teknik nage akan lazim terjadi. Namun ketika latihan lebih
ditujukan untuk mempersiapkan ujian misalnya, maka latihan akan
dilakukan dengan lebih mengalir. Dalam kesempatan-kesempatan tertentu
ada kalanya “meneliti” dapat dilakukan sembari “menghafal”, ini biasanya
membutuhkan tingkat kepekaan yang tinggi dari kedua belah pihak, dan
ketika mereka bisa masuk dalam situasi ini, maka studi untuk masuk ke
dalam realita akan lebih mudah dilakukan
Dengan menulis artikel ini, saya berusaha untuk membuka mata praktisi
untuk selalu mau terbuka akan hal-hal baru dan tidak terkungkung dalam
pola pikir yang sempit berkisar seputar latihan dalam dojo saja.
Seringkali saya mendapati kekecewaan praktisi dalam beladiri apapun,
ketika mereka gagal menghubungkan antara realita dan latihan, hingga
akhirnya mereka berhenti belajar, gagal memperoleh manfaat yang belum
sempat mereka sentuh, serta lupa akan tujuan ilmu beladiri yang
sesungguhnya, yaitu membentuk pribadi yang lebih baik serta jauh dari
konflik dan egosentrisme.
sumber :
https://straightsidecut.wordpress.com/philosophical/antara-latihan-dan-realita/