Kalau saya boleh berfatwa, maka bela diri akan saya wajibkan untuk
setiap Muslim dan Muslimah. Tapi berhubung derajat saya masih bagaikan
bumi dan langit dengan ulama-ulama sekaliber Yusuf al-Qaradhawi,
misalnya, maka biarkanlah hal ini tetap menjadi sebuah saran pribadi.
Tapi ini adalah sebuah saran yang amat serius. Tidak main-main.
Paling tidak ada dua alasan kenapa saya ‘berfatwa’ demikian :
1. Kenyataannya, bela diri adalah sunnah Rasulullah saw. Banyak orang bilang bahwa Rasulullah saw. tidak pernah belajar bela diri. Kalau dikatakan beliau tidak pernah berguru pada seorang guru silat, mungkin memang benar. Namun rasanya terlalu gegabah kalau mengatakan bahwa beliau tidak bisa bela diri, mengingat track record beliau yang sangat mengagumkan di medan perang. Tidak seperti jenderal jaman sekarang, beliau selalu berada di garis terdepan. Memang beliau pun bisa terluka, tapi kehebatan tempurnya tidak bisa diragukan lagi. Menurut saya, mereka yang bilang bahwa Rasulullah saw. tidak bisa bela diri harus rajin-rajin menelaah sirah nabawiyah kembali. Faktanya sudah sangat jelas, kok!
Paling tidak ada dua alasan kenapa saya ‘berfatwa’ demikian :
1. Kenyataannya, bela diri adalah sunnah Rasulullah saw. Banyak orang bilang bahwa Rasulullah saw. tidak pernah belajar bela diri. Kalau dikatakan beliau tidak pernah berguru pada seorang guru silat, mungkin memang benar. Namun rasanya terlalu gegabah kalau mengatakan bahwa beliau tidak bisa bela diri, mengingat track record beliau yang sangat mengagumkan di medan perang. Tidak seperti jenderal jaman sekarang, beliau selalu berada di garis terdepan. Memang beliau pun bisa terluka, tapi kehebatan tempurnya tidak bisa diragukan lagi. Menurut saya, mereka yang bilang bahwa Rasulullah saw. tidak bisa bela diri harus rajin-rajin menelaah sirah nabawiyah kembali. Faktanya sudah sangat jelas, kok!
2. Bela diri adalah kebutuhan dakwah. Sudah bukan rahasia lagi bahwa
dakwah Islamiyah sekarang ini dimusuhi habis-habisan. Musuh-musuh Islam
tidak akan segan-segan melakukan kekerasan pada para kader dakwah. Di
Mesir, Ikhwanul Muslimin menjadi oposisi terbesar, sekaligus menjadi
golongan penghuni penjara yang paling banyak. Di Aljazair, partai Islam
dikudeta oleh militer meskipun memenangkan pemilu secara adil. Di
Indonesia, para preman tidak jarang dikerahkan untuk mengintimidasi
kegiatan-kegiatan partai dakwah. Ini adalah kenyataan, bung! Kita harus
survive. Bela diri adalah salah satu solusi yang baik.
Di samping itu, ada beberapa pelajaran bagus yang dapat kita ambil
dari bela diri. Pelajaran-pelajaran itu sifatnya bukan hanya teori,
melainkan empiris juga. Anda harus merasakannya dahulu baru bisa
mengerti. Membaca uraian ini tidak akan banyak membantu jika Anda tidak
pernah merasakan ‘sensasinya’. Paling tidak ada lima pelajaran yang
dapat kita petik dari ilmu bela diri.
Apa adanya. Bela diri itu memang apa adanya. Jujur pada kenyataan.
Bela diri akan segera hancur binasa kalau sudah mulai tidak jujur pada
kenyataan. Bela diri adalah ilmu yang mengajarkan cara untuk
menyelamatkan diri. Karena itu, ia haruslah bertolak dari kenyataan di
lapangan. Kalau tidak mau bersikap apa adanya, maka bukan bela diri lagi
namanya, melainkan sekedar olah raga atau tari-tarian.
Contoh gampangnya begini. Dalam pertarungan sebenarnya, peraturan
apakah yang dipakai? Tentu tidak ada! Kita tidak bisa memaksa lawan
untuk menggunakan tangan kosong, atau menyuruh mereka untuk tidak
menggunakan senjata. Kita juga tidak bisa protes kalau mereka mengeroyok
kita. Kita pun tidak mungkin meminta body protector demi keselamatan
bersama. Kita tidak bisa mencegah mereka untuk menusuk mata atau
menendang kemaluan. Itulah kenyataan di jalanan. Kalau bela diri sudah
mengabaikan kenyataan itu, maka hancurlah esensi bela diri itu sendiri.
Mungkin ia akan tetap banyak diminati, namun esensinya akan hilang.
Saya ambil contoh perbandingan antara Judo dan Gracie Jujitsu.
Sebenarnya, kedua bela diri ini nenek moyangnya sama. Sama-sama Jujitsu.
Akan tetapi, dalam pertarungan di UFC dan Pride, misalnya, yang menang
selalu Gracie Jujitsu, bukan Judo. Apa bedanya? Bedanya, Gracie Jujitsu
berlatih dengan mempertimbangkan semua jenis lawan. Lawan yang gemar
memukul, gemar menendang, gemar kuncian, semuanya dipelajari. Gracie
Jujitsu juga mengembangkan teknik-teknik yang memungkinkannya
menaklukkan lawan yang tidak mengenakan gi (seragam bela diri ala
Jepang, misalnya seragam Judo atau Karate). Di sisi lain, Judo selalu
berkutat dengan aturan ini-itu. Tidak boleh memukul, tidak boleh
menendang, dan sebagainya. Hal ini tidak sesuai dengan kenyataan di
lapangan. Akan tetapi, saya sangat menghargai kejujuran Jigoro Kano,
sang pendiri Judo, yang menegaskan bahwa Judo bukanlah untuk bertarung,
melainkan untuk sportifitas.
Bela diri mengajarkan kita untuk bersikap apa adanya. Bruce Lee
mengabaikan aliran kung fu yang dipelajarinya sebelumnya dan kemudian
menciptakan sebuah aliran baru, yaitu Jeet Kune Do. Menurutnya, kung fu
klasik itu keblinger. Anatomi manusia jelas beda dengan binatang. Karena
itu, gerakan yang efektif bagi manusia jelas beda dengan gerakan yang
efektif untuk hewan. Lalu apa gunanya mempelajari gerakan-gerakan
belalang sembah, harimau, bangau, dan sebagainya? Mengapa kita tidak
menghadapi kenyataan bahwa anatomi manusia memang begini adanya, lalu
merumuskan teknik-teknik yang sesuai dengannya?
Masutatsu Oyama, seorang pemilik nama besar di dunia Karate, juga
melakukan ‘revolusi’ yang sama dalam bela diri. Beliau tidak dikenal
karena penguasaan rangkaian jurusnya (kata). Oyama dikenal karena
kekuatannya. Latihannya sederhana. Pergi ke hutan, cari apa pun yang
bisa dipatahkan dengan tangan dan kaki. Alhasil, ia menjadi salah
seorang petarung yang paling ditakuti di Jepang. Inilah realita
lapangan. Setuju atau tidak, ya terserah!
Bela diri bukanlah seni yang berindah-indah. Bela diri adalah segala
cara yang bisa digunakan untuk menjamin keselamatan pribadi dan orang
lain (tidak termasuk keselamatan lawan). Mungkin terdengar kasar dan
kejam, tapi dunia ini memang kejam, kawan!
Semua ada tahapannya. Belajar bela diri tidak mungkin tanpa tahapan.
Kita tidak mungkin langsung berlatih ke tahap advance tanpa melalui
tahap-tahap basic terlebih dahulu. Ini juga merupakan sunnatullaah.
Tidak ada manusia yang langsung bisa. Kalau berhasil, maka kita tidak
perlu bangga, karena masih ada tahapan lain yang lebih tinggi dan lebih
susah. Kalau gagal, kita pun tidak perlu kecewa, karena semuanya pernah
gagal. Bruce Lee dan Masutatsu Oyama juga pasti pernah gagal. Kesadaran
akan ‘tahapan’ ini memberikan banyak konsekuensi dan memberikan banyak
pelajaran bagi kita.
Jam terbang adalah segalanya. Percayalah, meskipun sama-sama latihan
memukul, orang yang baru belajar sehari jelas beda dengan orang yang
sudah berlatih setahun. Dalam bela diri, tidak ada jalan pintas atau
calo. Kalau mau lebih hebat, ya berlatihlah lebih giat! Tidak ada tempat
untuk orang manja yang mau enaknya saja. Dengan repetisi ratusan atau
ribuan kali, jurus yang sulit pun akan terkuasai. Cepat atau lambatnya
itu urusan belakangan (lebih tepatnya lagi : itu urusan Allah). Yang
penting ikhtiar saja dulu habis-habisan. Inilah cara berpikir yang harus
digunakan oleh setiap Muslim, apalagi mereka yang membaktikan dirinya
dalam dakwah.
Selalu ada pilihan. Dalam hidup, manusia selalu punya pilihan. Udara
dingin tidak mesti menjadikan kita kedinginan. Keadaan sulit tidak harus
membuat kita putus asa. Semuanya adalah pilihan yang dapat kita ambil.
Bahkan tidak memilih pun merupakan sebuah pilihan. Anda dapat berlatih
malas-malasan dan seperlunya, namun akhirnya kemampuan Anda akan tumpul
dengan sendirinya. Atau, Anda dapat berlatih dengan giat, dengan imbalan
mendapatkan peningkatan kemampuan yang signifikan.
The choice is all yours !
Tidak ada jalan selain sabar. Sabar adalah suatu fungsi kekuatan.
Sabar sama sekali tidak identik dengan kelemahan dan ketidakberdayaan.
Orang yang mampu sabar adalah orang yang ditakdirkan untuk jadi kuat.
Mereka yang ingin jadi ahli bela diri harus berlatih dan berlatih, tidak
kenal hari libur dan tidak peduli musim. Kalau mau lebih hebat lagi,
mau tidak mau ya harus lebih sabar lagi. Ini adalah sunnatullaah yang
sangat penting untuk disadari dan berlaku umum dalam segala persoalan.
Jadi, marilah kita belajar bela diri! Bela diri yang mana, nih? Saya
rasa kriteria ‘apa adanya’ bisa membantu Anda untuk memilih bela diri
yang sesuai dengan kenyataan di lapangan.