Senin, 19 Januari 2015

Bela Diri dalam arti sebenarnya



Kalau saya boleh berfatwa, maka bela diri akan saya wajibkan untuk setiap Muslim dan Muslimah. Tapi berhubung derajat saya masih bagaikan bumi dan langit dengan ulama-ulama sekaliber Yusuf al-Qaradhawi, misalnya, maka biarkanlah hal ini tetap menjadi sebuah saran pribadi. Tapi ini adalah sebuah saran yang amat serius. Tidak main-main.
Paling tidak ada dua alasan kenapa saya ‘berfatwa’ demikian :

1. Kenyataannya, bela diri adalah sunnah Rasulullah saw. Banyak orang bilang bahwa Rasulullah saw. tidak pernah belajar bela diri. Kalau dikatakan beliau tidak pernah berguru pada seorang guru silat, mungkin memang benar. Namun rasanya terlalu gegabah kalau mengatakan bahwa beliau tidak bisa bela diri, mengingat track record beliau yang sangat mengagumkan di medan perang. Tidak seperti jenderal jaman sekarang, beliau selalu berada di garis terdepan. Memang beliau pun bisa terluka, tapi kehebatan tempurnya tidak bisa diragukan lagi. Menurut saya, mereka yang bilang bahwa Rasulullah saw. tidak bisa bela diri harus rajin-rajin menelaah sirah nabawiyah kembali. Faktanya sudah sangat jelas, kok!

2. Bela diri adalah kebutuhan dakwah. Sudah bukan rahasia lagi bahwa dakwah Islamiyah sekarang ini dimusuhi habis-habisan. Musuh-musuh Islam tidak akan segan-segan melakukan kekerasan pada para kader dakwah. Di Mesir, Ikhwanul Muslimin menjadi oposisi terbesar, sekaligus menjadi golongan penghuni penjara yang paling banyak. Di Aljazair, partai Islam dikudeta oleh militer meskipun memenangkan pemilu secara adil. Di Indonesia, para preman tidak jarang dikerahkan untuk mengintimidasi kegiatan-kegiatan partai dakwah. Ini adalah kenyataan, bung! Kita harus survive. Bela diri adalah salah satu solusi yang baik.

Di samping itu, ada beberapa pelajaran bagus yang dapat kita ambil dari bela diri. Pelajaran-pelajaran itu sifatnya bukan hanya teori, melainkan empiris juga. Anda harus merasakannya dahulu baru bisa mengerti. Membaca uraian ini tidak akan banyak membantu jika Anda tidak pernah merasakan ‘sensasinya’. Paling tidak ada lima pelajaran yang dapat kita petik dari ilmu bela diri.
Apa adanya. Bela diri itu memang apa adanya. Jujur pada kenyataan. Bela diri akan segera hancur binasa kalau sudah mulai tidak jujur pada kenyataan. Bela diri adalah ilmu yang mengajarkan cara untuk menyelamatkan diri. Karena itu, ia haruslah bertolak dari kenyataan di lapangan. Kalau tidak mau bersikap apa adanya, maka bukan bela diri lagi namanya, melainkan sekedar olah raga atau tari-tarian.
Contoh gampangnya begini. Dalam pertarungan sebenarnya, peraturan apakah yang dipakai? Tentu tidak ada! Kita tidak bisa memaksa lawan untuk menggunakan tangan kosong, atau menyuruh mereka untuk tidak menggunakan senjata. Kita juga tidak bisa protes kalau mereka mengeroyok kita. Kita pun tidak mungkin meminta body protector demi keselamatan bersama. Kita tidak bisa mencegah mereka untuk menusuk mata atau menendang kemaluan. Itulah kenyataan di jalanan. Kalau bela diri sudah mengabaikan kenyataan itu, maka hancurlah esensi bela diri itu sendiri. Mungkin ia akan tetap banyak diminati, namun esensinya akan hilang.
Saya ambil contoh perbandingan antara Judo dan Gracie Jujitsu. Sebenarnya, kedua bela diri ini nenek moyangnya sama. Sama-sama Jujitsu. Akan tetapi, dalam pertarungan di UFC dan Pride, misalnya, yang menang selalu Gracie Jujitsu, bukan Judo. Apa bedanya? Bedanya, Gracie Jujitsu berlatih dengan mempertimbangkan semua jenis lawan. Lawan yang gemar memukul, gemar menendang, gemar kuncian, semuanya dipelajari. Gracie Jujitsu juga mengembangkan teknik-teknik yang memungkinkannya menaklukkan lawan yang tidak mengenakan gi (seragam bela diri ala Jepang, misalnya seragam Judo atau Karate). Di sisi lain, Judo selalu berkutat dengan aturan ini-itu. Tidak boleh memukul, tidak boleh menendang, dan sebagainya. Hal ini tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Akan tetapi, saya sangat menghargai kejujuran Jigoro Kano, sang pendiri Judo, yang menegaskan bahwa Judo bukanlah untuk bertarung, melainkan untuk sportifitas.
Bela diri mengajarkan kita untuk bersikap apa adanya. Bruce Lee mengabaikan aliran kung fu yang dipelajarinya sebelumnya dan kemudian menciptakan sebuah aliran baru, yaitu Jeet Kune Do. Menurutnya, kung fu klasik itu keblinger. Anatomi manusia jelas beda dengan binatang. Karena itu, gerakan yang efektif bagi manusia jelas beda dengan gerakan yang efektif untuk hewan. Lalu apa gunanya mempelajari gerakan-gerakan belalang sembah, harimau, bangau, dan sebagainya? Mengapa kita tidak menghadapi kenyataan bahwa anatomi manusia memang begini adanya, lalu merumuskan teknik-teknik yang sesuai dengannya?
Masutatsu Oyama, seorang pemilik nama besar di dunia Karate, juga melakukan ‘revolusi’ yang sama dalam bela diri. Beliau tidak dikenal karena penguasaan rangkaian jurusnya (kata). Oyama dikenal karena kekuatannya. Latihannya sederhana. Pergi ke hutan, cari apa pun yang bisa dipatahkan dengan tangan dan kaki. Alhasil, ia menjadi salah seorang petarung yang paling ditakuti di Jepang. Inilah realita lapangan. Setuju atau tidak, ya terserah!
Bela diri bukanlah seni yang berindah-indah. Bela diri adalah segala cara yang bisa digunakan untuk menjamin keselamatan pribadi dan orang lain (tidak termasuk keselamatan lawan). Mungkin terdengar kasar dan kejam, tapi dunia ini memang kejam, kawan!
Semua ada tahapannya. Belajar bela diri tidak mungkin tanpa tahapan. Kita tidak mungkin langsung berlatih ke tahap advance tanpa melalui tahap-tahap basic terlebih dahulu. Ini juga merupakan sunnatullaah. Tidak ada manusia yang langsung bisa. Kalau berhasil, maka kita tidak perlu bangga, karena masih ada tahapan lain yang lebih tinggi dan lebih susah. Kalau gagal, kita pun tidak perlu kecewa, karena semuanya pernah gagal. Bruce Lee dan Masutatsu Oyama juga pasti pernah gagal. Kesadaran akan ‘tahapan’ ini memberikan banyak konsekuensi dan memberikan banyak pelajaran bagi kita.
Jam terbang adalah segalanya. Percayalah, meskipun sama-sama latihan memukul, orang yang baru belajar sehari jelas beda dengan orang yang sudah berlatih setahun. Dalam bela diri, tidak ada jalan pintas atau calo. Kalau mau lebih hebat, ya berlatihlah lebih giat! Tidak ada tempat untuk orang manja yang mau enaknya saja. Dengan repetisi ratusan atau ribuan kali, jurus yang sulit pun akan terkuasai. Cepat atau lambatnya itu urusan belakangan (lebih tepatnya lagi : itu urusan Allah). Yang penting ikhtiar saja dulu habis-habisan. Inilah cara berpikir yang harus digunakan oleh setiap Muslim, apalagi mereka yang membaktikan dirinya dalam dakwah.
Selalu ada pilihan. Dalam hidup, manusia selalu punya pilihan. Udara dingin tidak mesti menjadikan kita kedinginan. Keadaan sulit tidak harus membuat kita putus asa. Semuanya adalah pilihan yang dapat kita ambil. Bahkan tidak memilih pun merupakan sebuah pilihan. Anda dapat berlatih malas-malasan dan seperlunya, namun akhirnya kemampuan Anda akan tumpul dengan sendirinya. Atau, Anda dapat berlatih dengan giat, dengan imbalan mendapatkan peningkatan kemampuan yang signifikan.
The choice is all yours !
Tidak ada jalan selain sabar. Sabar adalah suatu fungsi kekuatan. Sabar sama sekali tidak identik dengan kelemahan dan ketidakberdayaan. Orang yang mampu sabar adalah orang yang ditakdirkan untuk jadi kuat. Mereka yang ingin jadi ahli bela diri harus berlatih dan berlatih, tidak kenal hari libur dan tidak peduli musim. Kalau mau lebih hebat lagi, mau tidak mau ya harus lebih sabar lagi. Ini adalah sunnatullaah yang sangat penting untuk disadari dan berlaku umum dalam segala persoalan.
Jadi, marilah kita belajar bela diri! Bela diri yang mana, nih? Saya rasa kriteria ‘apa adanya’ bisa membantu Anda untuk memilih bela diri yang sesuai dengan kenyataan di lapangan.

sumber tulisan : http://metafisis.net